Nama : Tri Agus Widiantoni
NPM : 26210943
Kelas : 3EB1
Kelas : 3EB1
Penalaran
deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih
dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus. Metode
ini diawali dari pembentukan teori, hipotesis, definisi operasional, isntrumen,
dan operasionalisasi. Dengan kata lain untuk memahami suatu gejala terlebih
dahulu harus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya
dialakukan penelitian di lapangan.
Penalaran
deduktif dikembangkan oleh Aristoteles, Thales, Pythagoras, dan para filsuf
Yunani lainnya dari Periode Klasik (600-300 SM). Penalaran deduktif tergantung
pada premisnya artinya premis yang salah mungkin akan membawa kita kepada hasil
yang salah, dan premis yang tidak tepat juga akan menghasilkan kesimpulan yang
tidak tepat.
Alternatif dari penalaran deduktif adalah penalaran induktif. Perbedaan dasar
di antara keduanya dapat dilihat dari cara penerapannya. Penalaran deduktif
dimulai dengan bukti-bukti umum setelah itu ditarik kesimpulan yang khusus.
Sedangkan penalaran induktif dimulai dengan pengamatan khusus yang diyakini
sebagai model yang menunjukkan suatu kebenaran atau prinsip yang dianggap dapat
berlaku secara umum.
* Contoh klasik penalaran deduktif
(dari Aristoteles) :
- Semua manusia fana
(pasti akan mati). (permis mayor)
- Sokrates adalah
manusia. (premis minor)
- Sokrates pasti
(akan) mati. (kesimpulan)
Menurut
bentuknya, penalaran deduktif mungkin merupakan silogisme danentimem.
>>
Silogisme
Silogisme merupakan suatu cara penalaran yang formal. Penalaran dalam bentuk ini jarang ditemukan/dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Kita lebih sering mengikuti polanya saja, meskipun kadang-kadang secara tidak sadar. Misalnya ucapan "Ia dihukum karena melanggar peraturan "X", sebenarnya dapat kita kembalikan ke dalam bentukformal berikut:
Silogisme merupakan suatu cara penalaran yang formal. Penalaran dalam bentuk ini jarang ditemukan/dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Kita lebih sering mengikuti polanya saja, meskipun kadang-kadang secara tidak sadar. Misalnya ucapan "Ia dihukum karena melanggar peraturan "X", sebenarnya dapat kita kembalikan ke dalam bentukformal berikut:
a. Barang siapa melanggar peraturan "X" harus dihukum.
b. Ia melanggar peraturan "X"
c. la harus dihukum.
Bentuk seperti itulah yang disebut
silogisme. Kalimat pertama (premis mayor) dan kalimat
kedua (premis minor) merupakan pernyataan dasar untuk
menarik kesimpulan(kalimat ketiga).
Secara singkat silogisme dapat dituliskan : Jika A=B dan B=C maka A=C
>> Entimem
Secara singkat silogisme dapat dituliskan : Jika A=B dan B=C maka A=C
>> Entimem
Di atas telah disinggung bahwa
silogisme jarang sekali ditemukan di dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam
tulisan pun, bentuk itu hampir tidak pernah digunakan. Bentuk yangbiasa ditemukan dan dipakai ialah
bentuk entimem. Entimem ini pada dasarnya adalah silogisme.
Tetapi, di dalam entimem salah satu premisnya dihilangkan/tidak
diucapkankarena sudah sama-sama diketahui.
Contoh:
Contoh:
Menipu adalah
dosa karena merugikan orang lain.
Kalimat di atas
dapat dipenggal menjadi dua:
a.
menipu adalah dosa
b.
karena (menipu) merugikan orang lain.
Kalimat a merupakan kesimpulan sedangkan kalimat b adalah
premis minor (karena bersifat khusus). Maka silogisme dapat disusun:
My : -
Mn :
menipu merugikan orang lain
K : menipu adalah dosa.
K : menipu adalah dosa.
Dalam kalimat di atas, premis yang dihilangkan adalah premis mayor. Untuk
melengkainya harus ingat bahwa premis mayor selalu bersifat lebih umum, jadi
tidak mungkin subjeknya "menipu". Kita dapat menalar kembali dan
menemukan premis mayornya : Perbuatan yang merugikan orang lain adalah dosa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar